Tuhan tidak
pernah Salah memberi Rejeki
Suasana damai
selalu terasa bila kita retret di Wisma Syalom, Ampel Gading, Bandungan,
Ambarawa. Pepohonan yang serba hijau, taman, rumput, bunga yang asri,
bersih dan indah bak Taman Firdaus
(Eden) itu merupakan hasil perawatan sehari-hari FX Mujiono, karyawan
Yayasan Pangudi Luhur yang ditugasi merawat pertamanan dan perkebunan di rumah
retret YPL itu.
Melalui
pekerjaannya itu, bapak dua anak (A. Eva Eviana, siswa SMP PL Ambarawa dan M.
Ratna Ristanti masih di Taman Kanak-Kanak) ini selalu bersyukur dapat menafkahi
keluarganya. Istrinya, M. Winarti, bekerja di rumah sebagai
ibu rumah tangga. Pak Muji selalu percaya akan kasih Tuhan, “ Tuhan tidak
pernah salah dalam memberi rejeki,” tegasnya.
Pria kelahiran
Semarang 12 September 1975 ini telah 13 tahun bekerja di Wisma Syalom, diangkat
karyawan tetap tahun 2007. Sudah beberapa Bruder yang bergantian mengelola
rumah retret ini yang dibantunya. Kadang
pekerjaannya mesti diselesaikannya sampai malam karena mendapat giliran lembur.
Namun jam kerja hariannya dimulai pukul 07.00 sampai 15.00 WIB. Dari rumahnya di
Kedungwangan Rt 002/ RW 003 Banyukuning, Bandungan, cukup dekat lokasinya
dengan Wisma Syalom.
Kesan selama
bekerja di YPL, Pak Muji selalu merasa senang dan nyaman, karena teman-temannya
baik dan ia mendapat pengayoman dari para Bruder FIC. Kurang lebih ada 21
karyawan yang berelasi dan bekerjasama dengannya di rumah retret ini. Pak Muji berharap,
para Bruder FIC yang berkarya di Wisma Syalom selalu beroleh anugerah berupa
kebijaksanaan dan kehidupan yang baik. (hans)
Menjadi Pribadi Utuh lewat Teater
Bicara
Teater DOM’Sav tidak bisa lepas dari sosok
Asa Jatmiko. Mas Asa, begitu anak-anak teater
biasa memanggil adalah salah seorang yang ikut membidani lahirnya Teater
DOM’Sav bersama Bruder
Albertus Suwarto, FIC;
Andreas Setya Prayogo, Wintoro, Wirato Adi, dan Heri Sas.
Berkat
tangan dingin Asa Jatmiko didukung oleh orang-orang yang memiliki komitmen
dalam bidang teater maka Teater DOM’Sav yang beberapa saat vakum akhirnya
bangkit kembali. Bahkan untuk pertama kali tampil secara “profesional”. Dikatakan katakan “profesional” karena penonton
harus membeli tiket untuk dapat menonton pertunjukan Teater DOM’Sav.
Mas
Asa lahir di Purbalingga 7 Januari 1976. Saat ini ia tinggal di Jalan Kelapa Sawit V/6 Megawon Indah, Jati, Kudus.
Selain sebagai guru ekstra teater di SMP PL Domenico Savio, Mas Asa adalah penggiat
teater sekaligus pentolan Teater Djarum, juga seorang penyair dan penulis buku.
Salah satu motto hidupnya adalah “Berteater mengajak setiap pribadi terlibat
mendapati dirinya sebagai pribadi utuh yang berdaya.”
Bersama
Asa Jatmiko, Teater DOM’Sav menampilkan lakon “Freedom”
karya Putu Wijaya tanggal 29 Oktober 2016 yang lalu. Acara yang digelar di
auditorium RRI ini mendapat respons positif dari Domsavian. Meskipun baru pertama kali,
pementasan ini boleh dibilang sangat sukses. Bahkan mendapat apresiasi dari Sang Maestro Putu Wijaya. (RD_BL)
Buah
Kedisiplinan dari Almamater
Pangudi Luhur mampu meluluskan “orang hebat” yang tersebar
ke seluruh pelosok Indonesia. Salah satunya adalah Nanang Saptyanto. Bapak Camat
Bandungan ini lulusan SMA PL Santo Yosef Surakarta tahun 1979.
Kebiasaan disiplin di almamaternya itu dia terapkan pula
dengan bekerja disiplin pada jajarannya. Pria kelahiran Banjarmasin 27
September 1959 ini dipercaya menjadi orang nomor satu di Kecamatan Bandungan
sejak 25 Agustus 2011. Kariernya dimulai menjadi PNS tahun 1985.
Mengenang almamaternya, Pak Nanang yang hobi olahraga ini
mengatakan, SMA PL Santo Yosef merupakan
sekolah yang disiplin, walau saat itu muridnya semua lelaki. Kedisiplinan yang
diterapkan di sekolah ini menjadikan siswanya unggul dan berkepribadian baik
sehingga menghasilkan lulusan yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Sebagai Camat di Bandungan yang terkenal dengan
pariwisata Candi Gedongsongo dan pemandangan
yang indah, Pak Nanang harus lebih bermusyawarah, mendekatkan diri
dengan masyarakat agar bisa menyatukan persepsi dan kebersamaan untuk menjaga
keamanan, ketertiban serta menjaga situasi yang kondusif.
Skala prioritas pekerjaan adalah pelayanan kepada
masyarakat, melestarikan budaya, dan kearifan lokal. Pak Nanang selalu berupaya
menggali potensi desa dengan keindahan alamnya untuk dipublikasikan kepada
turis domestik maupun mancanegara. Dengan pemikiran seperti itu Kecamatan
Bandungan pernah meraih prestasi di bidang PKK Juara Tingkat Nasional kategori
UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan keluarga). UMKM nya tentu saja yang menjadi
unggulan adalah olahan pangan keripik ketela ungu dan torakur (tomat rasa
kurma) mengingat Bandungan penghasil sayur, bunga, dan buah yang cukup
melimpah. (Retnowi)
“Mendidik yang benar butuh perjuangan”
“Mendidik
yang benar itu butuh perjuangan dan pembelajaran yang maksimal, ” begitu kata Maria Setyawati, akrab dipanggil Bu
Wati. Guru Kelas I SD PL Gejlig, Kalibawang, Kulonprogo, ini sungguh menikmati pekerjaannya. Awalnya
Bu Wati mengajar Kelas II, namun mulai
tahun ajaran ini ia mengajar Kelas I.
Itu
artinya mengajar dari awal lagi. Baik dalam pengenalan huruf maupun angka. “Tetapi
ya dijalani saja,” kata Bu Wati tersenyum. Sebelum mengajar di SD PL Gejlig Bu
Wati mengajar di SMP Bintang Laut Solo sebagai guru honorer selama lima tahun
(2003-2008). Di sekolah ini ia mengajar Bahasa Jawa. Bu Wati yang lulusan ISI
jurusan Tari karenanya piawai menari maka di SD PL Gejlig ia juga mengajar tari dari kelas I sampai kelas
VI.
Bagi
Bu Wati mengajar di SD pinggiran, bukan berarti harus disepelekan. SD PL Gejlig
tempatnya sangat menyenangkan. Berada di
pegunungan, kehidupan masyarakatnya yang di bawah rata-rata membuat Bu Wati
tertantang untuk memajukan anak-anak. Sering anak-anak diajak belajar ke luar
kelas, melihat pegunungan, alam sekitar, bahkan sampai puncak pegunungan untuk
melihat daerah Boro dari atas.
Bu
Wati juga sering memutarkan gambar-gambar lewat LCD juga memutarkan lagu
anak-anak. Itu dilakukannya untuk memenuhi rasa ingin tahu anak-anak. Hal yang
menyenangkan lainnya adalah ketika mengantarkan anak-anak mengikuti lomba
menari tingkat kabupaten. Walau belum menang tapi membuat anak-anak tambah
pengalaman.
Buah
tak jatuh dari pohonnya. Begitu pepatah yang tepat untuk putra-putri Bu Wati.
Skolastika Amaranita Irawati dan Bonaventura Daniswara Irawan, walaupun putrinya
masih Kelas V sudah bisa membantunya mengajar menari. Kalau yang cowok lebih
suka menekuni jathilan. Kebetulan di D Gejlig ada ekstrakurikuler jatilan.
Bu
Wati yang lahir di Kulonprogo 25 Agustus 1976 ini tinggal tak jauh dari sekolah
yaitu di Gejlig, Banjarsari, Kalibawang, Kulonprogo. Selain mengajar, Bu Wati
juga aktif di WK dan koor lingkungan terutama para lansia. Selamat melestarikan
budaya Jatilan tentu bersama teman-teman guru ya Bu… (Retnowi)
Selagi Kita bisa
Memberi…Berilah!
Bagi umat Paroki Santa
Perawan Maria Sapta Kedukaan Pandu Bandung, Romo Agustinus Sudarno, OSC; tentu tidak asing. Dialah pastor murah
senyum yang mengepalai Paroki Pandu ini sejak Mei 1999. Tahun 2010 Paroki Pandu
dan Stasi St Theodorus berulang tahun, masing-masing yang ke-75 dan 25. Romo Darno,
demikian ia dipanggil akrab, pun merayakan imamat peraknya yang ke-25. Tepatnya
tanggal 26 Juni 1985 silam ia ditahbiskan oleh (alm) Mgr Alexander Djajasiswaja
bersama-sama dengan Romo Supandoyo, Marcus Priyo Koesharjono dan Matius Tukimin
di Paroki Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria-Buah Batu.
Imam kelahiran Klaten 5 Juli
1957 ini menyelesaikan pendidikannya di SD Kanisius dan SMP Pangudi Luhur
Klaten. Tugas pertamanya sebagai frater adalah di Paroki Buah Batu. Lantas ia
menjalankan tahun pastoralnya selama satu tahun di Asmat. Ia mengawali tugas
pastoralnya sebagai pastor pembantu di Paroki St Jusuf, Cirebon (1985-1987).
Setelahnya ia membantu kembali di Asmat (1987-1988). Mulai tahun 1988 ia
bertugas di Paroki St Odilia, Cicadas, selama lima tahun sebagai Pastor Paroki.
Kemudian ia ditugaskan di bidang formasi (1993-1999) sebagai Magister Novisiat
di Biara Pratista-Cisarua dan merangkap pula sebagai Ketua Yayasan Salib Suci
hingga 1999.
“Saya memang tumbuh di tengah
keluarga yang membentuk panggilan selibat itu sendiri. Dari enam bersaudara,
satu kakak saya adalah imam Jesuit, sedangkan adik perempuan saya adalah
biarawati Fransiscan,” katanya. Mereka yang dibaptis pada saat SD, mendapat
suasana katolik dari nenek yang rumahnya berdekatan dengan rumah orang tuanya. “Bapak
ibu saya menjadi katolik setelah kami-kami ini dibaptis. Dan beliau memang tidak
menganjurkan kami menjadi biarawan/biarawati, tetapi memberikan kebebasan penuh
pada pilihan hidup masing-masing anak,” tambah Imam yang hobi membaca ini.
Ketika ditanyakan mengapa ia
memilih OSC sebagai tarekatnya, ia menjawab dengan penuh canda agar saat
berkumpul pada acara keluarga, akan memberi warna dan banyak cerita. “Hal yang
mengesankan saya pada saat bertugas di suku Asmat adalah tempaan mental untuk
menghargai berkat yang ada dan menjadikannya berani hidup dalam kesendirian,” tandasnya.
Disamping kesibukannya sebagai pengawas di Yayasan Mardiwijana Satya Winaya, ia
masih menyempatkan diri untuk mengikuti berbagai seminar pendidikan dan
pengembangan diri.
Motto dalam hidupnya adalah:
Selagi kita bisa memberi…..berilah. Sepertinya inilah yang menjadi pedoman
mengapa ia senantiasa menyumbangkan pemikiran agar umat semakin mau terlibat
dan peka terhadap situasi sekitar dan mau melayani dalam kualitas. Dalam
kehidupan imamat selanjutnya, ia berharap agar ia tetap mampu melaksanakan
tugas dengan penuh suka cita di manapun ia ditempatkan. (Har-bs)
Mengerjakan Segala Sesuatu dengan Sebaik-baiknya
Menjadi anak
pertama dalam keluarga wajib menjadi contoh bagi adik-adiknya. Itulah yang
dilakukan Dra Chatarina Sawarni. Sebagai
anak pertama (putri) dan semua adiknya laki-laki, anak mantan Kepala Sekolah
SMP PL Bintang Laut Surakarta, C Sarwana ini terbiasa mengerjakan segala hal
sebaik-baiknya dengan hasil yang baik.
Lulusan
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini mengajar mata
pelajaran kimia di SMA PL Santo Yosef Surakarta per 1 Agustus 1987. “ Hakikatnya
kerja di Yayasan Pangudi Luhur itu baik, karena mendapat teman kerja yang baik
pula,” ucap guru kelahiran Surakarta 9 Oktober 1960 ini.
Mengajar hampir
30 tahun di tempat yang sama, ia tidak merasa bosan. Banyak teman menjadi saudara
dalam suka duka menjalani kehidupan mendidik, membimbing dan mendampingi anak
muda. Sekarang, sejak dinyatakan pensiun tahun 2016 dan dipestakan bulan
Oktober 2016, ia tetap membantu berkarya dan merasa enjoy karena merasakan perlakuan teman-teman yang baik sehingga
dapat bekerja dengan baik.
Bu Chatarina juga
tidak merasa capai mengerjakan sesuatu sendiri, dari rumahnya di daerah Bibis
Luhur 01/21 Surakarta. Harapannya, semoga YPL menjadi tempat kerja yang nyaman.
“ Juga menyenangkan dan menyejahterakan bagi yang berada di dalamnya,”
tandasnya. (Hans)
Me-manage
Waktu
dan Prioritas
Menggeluti organisasi sejak masih kuliah
menjadikannya siap mendapat
tugas apa pun. Itulah Antonius Wisnu Nugroho S.Pd, salah satu personil muda
di SMA PL Van Lith Muntilan. Di usianya yang hampir 30
tahun (lahir
di Salatiga 8 Agustus
1987), ia dipercaya YPL sebagai Wakil Kepala Sekolah sejak
tahun ajaran 2015/2016.
Sejak lulus dari Pendidikan Bahasa Inggris UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana)
Salatiga tahun 2011,
ia bergabung
dengan Pangudi Luhur sebagai guru Bahasa Inggris di SMA Van Lith. Dua tahun
kemudian sudah diangkat sebagai GTY (Guru Tetap Yayasan). Bersamaan dengan itu, Mr Anton, begitu panggilan akrabnya,
diangkat sebagai Komdis (Komisi Disiplin)
selama 1 tahun ajaran. Setelah
itu ia dipercaya menjadi Pembina OSIS tahun ajaran 2104-2015. Setahun kemudian, per Juli 2015, ia diminta menjadi Waka
Kesiswaan. Semua jabatan itu
dijalaninya dengan penuh tanggung jawab.
Anak ke-2 dari 3 bersaudara ini amat bersyukur memiliki orang tua yang
senantiasa memberi teladan baik dalam pelayanan kepada orang lain. Orang tuanya
adalah pendidik, aktifis
gereja maupun masyarakat. Oleh karena itu bapak dan ibunya sangat mendukung
anak-anaknya untuk berperan aktif di masyarakat.
Ketika terpilih menjadi Ketua Karang Taruna di desanya, Mr Anton menjalaninya dengan enjoy dan ikhlas. Saat yang bersamaan Dewan Paroki
setempat memilihnya sebagai Ketua OMK (Organisasi Muda Katolik). Lengkap sudah kesibukannya, sebab harus
bisa seefektif mungkin me-manage
waktu, tenaga dan prioritas mengingat kala itu ia juga masih kuliah. Dari pengalaman
berorganisasi inilah Mr Anton bisa belajar
tentang tanggung jawab dan mengembangkan jiwa pelayanannya.
Saat ini ia tinggal di daerah Mertoyudan bersama
istrinya,
Rika
Agustina SPd (28 th) dan anaknya Ashelyn (4 th). Mr Anton mewarnai kegiatan di sana
khususnya dalam ibadat
lingkungan. Meskipun
mayoritas penduduknya para
janda dan sesepuh, namun justru ia
merasa
senang bisa menimba wawasan dari para tetua.
Pak guru
muda ini memiliki hobi memelihara binatang, khususnya unggas. Kesenangannya ini mengundang beberapa
orang menawar hewan-hewan piaraannya. Namanya juga hobi, maka fungsinya lebih sebagai hiburan
pengisi waktu luang dan merelaksasi kepenatan setelah berkutat dengan tumpukan
pekerjaan di sekolah.
“Maka
penting
me-manage
kepentingan,” ujar
Mr. Anton mengakhiri perbincangan dengan Bianglala. (nik)
Berkat
tidak selalu dalam bentuk Uang
Menjadi
Kepala Sekolah di usia muda. Begitulah yang dialami Gregorius
Asih Atin Agung Saputra. Per
Juli 2015, ia dipercaya oleh YPL menjadi Kepala Sekolah SD PL “Santo Ignatius”
Muntilan.
Bergabung di YPL sejak 12 tahun lalu, pada
awalnya Pak Agung, alumnus
Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma 2004, ditempatkan
di SD PL Bernardus Semarang yang
dijalani selama 7 tahun.
Kemudian ia dimutasi ke SD PL Yogya dan berjalan 4 tahun. Setelah itu, di tahun ajaran 2015/2016 ia diminta
oleh Yayasan untuk memimpin SD PL “St Ignatius”
Muntilan. Menjadi “PR” besar dari YPL kala itu, Pak Agung harus mampu menaikkan grade (peringkat)
Ujian Nasional SD
PL Muntilan yang sempat turun.
Bapak
kelahiran Sleman 3 September 1982 yang dari hasil pernikahannya dengan
Fransiska Aggar Cahyanti (guru SMP PL Yogya) dikaruniai 3 anak (Grace kelas 2 SD, Wilbert 3,5 tahun dan Gilbert 2,5 tahun) ini menyadari sepenuhnya bahwa keikhlasan menjadi dasar dalam menyelesaikan
semua tanggung jawab pekerjaan. Meskipun awalnya
berat, namun keikhlasan
hati itulah yang mendatangkan berkat
tanpa disangka. Berkat
tidak selalu dalam bentuk uang. Kesehatan, kerukunan dalam keluarga, ketenangan
batin serta anak-anak yang mudah diarahkan, adalah rahmat-rahmat tersembunyi yang perlu
disyukuri.
Satu tahun berkiprah di Muntilan, Pak Agung telah mampu mengantarkan salah satu muridnya menjadi Juara I di ajang Olimpiade Matematika
tingkat Kabupaten Magelang. Ini adalah anugerah terindah saat
kondisi prestasi sekolah menurun, lalu semua pihak gumregah untuk memperjuangkan prestasi kembali. Ibarat buah, belum semua buah bisa
dipetik dalam waktu yang bersamaan.
Tetap
semangat dan ikhlas ya Pak Agung. (Nik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar