Kamis, 16 Maret 2017

BIDIK EDISI 94



Tuhan tidak pernah Salah memberi Rejeki

Suasana damai selalu terasa bila kita retret di Wisma Syalom, Ampel Gading, Bandungan, Ambarawa. Pepohonan yang serba hijau, taman, rumput, bunga yang asri, bersih  dan indah bak Taman Firdaus (Eden) itu merupakan hasil perawatan sehari-hari FX Mujiono, karyawan Yayasan Pangudi Luhur yang ditugasi merawat pertamanan dan perkebunan di rumah retret YPL itu.
Melalui pekerjaannya itu, bapak dua anak (A. Eva Eviana, siswa SMP PL Ambarawa dan M. Ratna Ristanti masih di Taman Kanak-Kanak) ini selalu bersyukur dapat menafkahi  keluarganya. Istrinya, M. Winarti, bekerja  di rumah  sebagai ibu rumah tangga. Pak Muji selalu percaya akan kasih Tuhan, “ Tuhan tidak pernah salah dalam memberi rejeki,” tegasnya.
Pria kelahiran Semarang 12 September 1975 ini telah 13 tahun bekerja di Wisma Syalom, diangkat karyawan tetap tahun 2007. Sudah beberapa Bruder yang bergantian mengelola rumah retret ini  yang dibantunya. Kadang pekerjaannya mesti diselesaikannya sampai malam karena mendapat giliran lembur. Namun jam kerja hariannya dimulai pukul 07.00 sampai 15.00 WIB. Dari rumahnya di Kedungwangan  Rt 002/ RW 003 Banyukuning, Bandungan, cukup dekat lokasinya dengan Wisma Syalom.    
Kesan selama bekerja di YPL, Pak Muji selalu merasa senang dan nyaman, karena teman-temannya baik dan ia mendapat pengayoman dari para Bruder FIC. Kurang lebih ada 21 karyawan yang berelasi dan bekerjasama dengannya di rumah retret ini. Pak Muji berharap, para Bruder FIC yang berkarya di Wisma Syalom selalu beroleh anugerah berupa kebijaksanaan dan kehidupan yang baik. (hans)

Menjadi Pribadi Utuh lewat Teater

Bicara Teater DOM’Sav tidak bisa lepas dari sosok Asa Jatmiko. Mas Asa, begitu anak-anak teater biasa memanggil adalah salah seorang yang ikut membidani lahirnya Teater DOM’Sav bersama Bruder Albertus Suwarto, FIC; Andreas Setya Prayogo, Wintoro, Wirato Adi, dan Heri Sas.
Berkat tangan dingin Asa Jatmiko didukung oleh orang-orang yang memiliki komitmen dalam bidang teater maka Teater DOM’Sav yang beberapa saat vakum akhirnya bangkit kembali. Bahkan untuk pertama kali tampil secara “profesional”. Dikatakan katakan “profesional” karena penonton harus membeli tiket untuk dapat menonton pertunjukan Teater DOM’Sav.
Mas Asa lahir di Purbalingga 7 Januari 1976. Saat ini ia tinggal di Jalan Kelapa Sawit V/6 Megawon Indah, Jati, Kudus. Selain sebagai guru ekstra teater di SMP PL Domenico Savio, Mas Asa adalah penggiat teater sekaligus pentolan Teater Djarum, juga seorang penyair dan penulis buku. Salah satu motto hidupnya adalah “Berteater mengajak setiap pribadi terlibat mendapati dirinya sebagai pribadi utuh yang berdaya.”
Bersama Asa Jatmiko, Teater DOM’Sav menampilkan lakon Freedom karya Putu Wijaya tanggal 29 Oktober 2016 yang lalu. Acara yang digelar di auditorium RRI ini mendapat respons positif dari Domsavian. Meskipun baru pertama kali, pementasan ini boleh dibilang sangat sukses. Bahkan mendapat apresiasi  dari Sang Maestro Putu Wijaya. (RD_BL)



Buah Kedisiplinan dari Almamater

Pangudi Luhur mampu meluluskan “orang hebat” yang tersebar ke seluruh pelosok Indonesia. Salah satunya adalah Nanang  Saptyanto. Bapak Camat Bandungan ini lulusan SMA PL Santo Yosef Surakarta tahun 1979.  
Kebiasaan disiplin di almamaternya itu dia terapkan pula dengan bekerja disiplin pada jajarannya. Pria kelahiran Banjarmasin 27 September 1959 ini dipercaya menjadi orang nomor satu di Kecamatan Bandungan sejak 25 Agustus 2011. Kariernya dimulai menjadi PNS tahun 1985.
Mengenang almamaternya, Pak Nanang yang hobi olahraga ini mengatakan, SMA PL Santo Yosef  merupakan sekolah yang disiplin, walau saat itu muridnya semua lelaki. Kedisiplinan yang diterapkan di sekolah ini menjadikan siswanya unggul dan berkepribadian baik sehingga menghasilkan lulusan yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Sebagai Camat di Bandungan yang terkenal dengan pariwisata Candi Gedongsongo dan pemandangan  yang indah, Pak Nanang harus lebih bermusyawarah, mendekatkan diri dengan masyarakat agar bisa menyatukan persepsi dan kebersamaan untuk menjaga keamanan, ketertiban serta menjaga situasi yang kondusif.
Skala prioritas pekerjaan adalah pelayanan kepada masyarakat, melestarikan budaya, dan kearifan lokal. Pak Nanang selalu berupaya menggali potensi desa dengan keindahan alamnya untuk dipublikasikan kepada turis domestik maupun mancanegara. Dengan pemikiran seperti itu Kecamatan Bandungan pernah meraih prestasi di bidang PKK Juara Tingkat Nasional kategori UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan keluarga). UMKM nya tentu saja yang menjadi unggulan adalah olahan pangan keripik ketela ungu dan torakur (tomat rasa kurma) mengingat Bandungan penghasil sayur, bunga, dan buah yang cukup melimpah. (Retnowi)


“Mendidik yang benar butuh perjuangan”


“Mendidik yang benar itu butuh perjuangan dan pembelajaran yang maksimal, ” begitu kata Maria Setyawati, akrab dipanggil Bu Wati. Guru Kelas I SD PL Gejlig, Kalibawang, Kulonprogo,  ini sungguh menikmati pekerjaannya. Awalnya Bu Wati mengajar Kelas II, namun  mulai tahun ajaran ini ia mengajar Kelas I.
Itu artinya mengajar dari awal lagi. Baik dalam pengenalan huruf maupun angka. “Tetapi ya dijalani saja,” kata Bu Wati tersenyum. Sebelum mengajar di SD PL Gejlig Bu Wati mengajar di SMP Bintang Laut Solo sebagai guru honorer selama lima tahun (2003-2008). Di sekolah ini ia mengajar Bahasa Jawa. Bu Wati yang lulusan ISI jurusan Tari karenanya piawai menari maka di SD PL Gejlig ia  juga mengajar tari dari kelas I sampai kelas VI.
Bagi Bu Wati mengajar di SD pinggiran, bukan berarti harus disepelekan. SD PL Gejlig tempatnya sangat menyenangkan. Berada  di pegunungan, kehidupan masyarakatnya yang di bawah rata-rata membuat Bu Wati tertantang untuk memajukan anak-anak. Sering anak-anak diajak belajar ke luar kelas, melihat pegunungan, alam sekitar, bahkan sampai puncak pegunungan untuk melihat daerah Boro dari atas.
Bu Wati juga sering memutarkan gambar-gambar lewat LCD juga memutarkan lagu anak-anak. Itu dilakukannya untuk memenuhi rasa ingin tahu anak-anak. Hal yang menyenangkan lainnya adalah ketika mengantarkan anak-anak mengikuti lomba menari tingkat kabupaten. Walau belum menang tapi membuat anak-anak tambah pengalaman.
Buah tak jatuh dari pohonnya. Begitu pepatah yang tepat untuk putra-putri Bu Wati. Skolastika Amaranita Irawati dan Bonaventura Daniswara Irawan, walaupun putrinya masih Kelas V sudah bisa membantunya mengajar menari. Kalau yang cowok lebih suka menekuni jathilan. Kebetulan di D Gejlig ada ekstrakurikuler jatilan.
Bu Wati yang lahir di Kulonprogo 25 Agustus 1976 ini tinggal tak jauh dari sekolah yaitu di Gejlig, Banjarsari, Kalibawang, Kulonprogo. Selain mengajar, Bu Wati juga aktif di WK dan koor lingkungan terutama para lansia. Selamat melestarikan budaya Jatilan tentu bersama teman-teman guru ya Bu… (Retnowi)
 



Selagi Kita bisa Memberi…Berilah!
Bagi umat Paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan Pandu Bandung, Romo Agustinus Sudarno, OSC; tentu tidak asing. Dialah pastor murah senyum yang mengepalai Paroki Pandu ini sejak Mei 1999. Tahun 2010 Paroki Pandu dan Stasi St Theodorus berulang tahun, masing-masing yang ke-75 dan 25. Romo Darno, demikian ia dipanggil akrab, pun merayakan imamat peraknya yang ke-25. Tepatnya tanggal 26 Juni 1985 silam ia ditahbiskan oleh (alm) Mgr Alexander Djajasiswaja bersama-sama dengan Romo Supandoyo, Marcus Priyo Koesharjono dan Matius Tukimin di Paroki Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria-Buah Batu.
Imam kelahiran Klaten 5 Juli 1957 ini menyelesaikan pendidikannya di SD Kanisius dan SMP Pangudi Luhur Klaten. Tugas pertamanya sebagai frater adalah di Paroki Buah Batu. Lantas ia menjalankan tahun pastoralnya selama satu tahun di Asmat. Ia mengawali tugas pastoralnya sebagai pastor pembantu di Paroki St Jusuf, Cirebon (1985-1987). Setelahnya ia membantu kembali di Asmat (1987-1988). Mulai tahun 1988 ia bertugas di Paroki St Odilia, Cicadas, selama lima tahun sebagai Pastor Paroki. Kemudian ia ditugaskan di bidang formasi (1993-1999) sebagai Magister Novisiat di Biara Pratista-Cisarua dan merangkap pula sebagai Ketua Yayasan Salib Suci hingga 1999.
“Saya memang tumbuh di tengah keluarga yang membentuk panggilan selibat itu sendiri. Dari enam bersaudara, satu kakak saya adalah imam Jesuit, sedangkan adik perempuan saya adalah biarawati Fransiscan,” katanya. Mereka yang dibaptis pada saat SD, mendapat suasana katolik dari nenek yang rumahnya berdekatan dengan rumah orang tuanya. “Bapak ibu saya menjadi katolik setelah kami-kami ini dibaptis. Dan beliau memang tidak menganjurkan kami menjadi biarawan/biarawati, tetapi memberikan kebebasan penuh pada pilihan hidup masing-masing anak,” tambah Imam yang hobi membaca ini.
Ketika ditanyakan mengapa ia memilih OSC sebagai tarekatnya, ia menjawab dengan penuh canda agar saat berkumpul pada acara keluarga, akan memberi warna dan banyak cerita. “Hal yang mengesankan saya pada saat bertugas di suku Asmat adalah tempaan mental untuk menghargai berkat yang ada dan menjadikannya berani hidup dalam kesendirian,” tandasnya. Disamping kesibukannya sebagai pengawas di Yayasan Mardiwijana Satya Winaya, ia masih menyempatkan diri untuk mengikuti berbagai seminar pendidikan dan pengembangan diri.
Motto dalam hidupnya adalah: Selagi kita bisa memberi…..berilah. Sepertinya inilah yang menjadi pedoman mengapa ia senantiasa menyumbangkan pemikiran agar umat semakin mau terlibat dan peka terhadap situasi sekitar dan mau melayani dalam kualitas. Dalam kehidupan imamat selanjutnya, ia berharap agar ia tetap mampu melaksanakan tugas dengan penuh suka cita di manapun ia ditempatkan. (Har-bs)


Mengerjakan Segala Sesuatu dengan Sebaik-baiknya

Menjadi anak pertama dalam keluarga wajib menjadi contoh bagi adik-adiknya. Itulah  yang dilakukan Dra Chatarina Sawarni. Sebagai anak pertama (putri) dan semua adiknya laki-laki, anak mantan Kepala Sekolah SMP PL Bintang Laut Surakarta, C Sarwana ini terbiasa mengerjakan segala hal sebaik-baiknya dengan hasil yang baik.
Lulusan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini mengajar  mata pelajaran kimia di SMA PL Santo Yosef Surakarta per 1 Agustus 1987. “ Hakikatnya kerja di Yayasan Pangudi Luhur itu baik, karena mendapat teman kerja yang baik pula,” ucap guru kelahiran Surakarta 9 Oktober 1960 ini.
Mengajar hampir 30 tahun di tempat yang sama, ia tidak merasa bosan. Banyak teman menjadi saudara dalam suka duka menjalani kehidupan mendidik, membimbing dan mendampingi anak muda.  Sekarang, sejak dinyatakan pensiun tahun 2016 dan dipestakan bulan Oktober 2016, ia tetap membantu berkarya dan merasa enjoy karena merasakan perlakuan teman-teman yang  baik sehingga dapat bekerja dengan baik.
Bu Chatarina juga tidak merasa capai mengerjakan sesuatu sendiri, dari rumahnya di daerah Bibis Luhur 01/21 Surakarta. Harapannya, semoga YPL menjadi tempat kerja yang nyaman. “ Juga menyenangkan dan menyejahterakan bagi yang berada di dalamnya,” tandasnya. (Hans)


Me-manage Waktu dan Prioritas
           
Menggeluti organisasi sejak masih kuliah menjadikannya siap mendapat tugas apa pun. Itulah Antonius Wisnu Nugroho S.Pd,  salah satu personil   muda  di SMA PL  Van Lith  Muntilan. Di usianya yang hampir 30 tahun (lahir di Salatiga 8 Agustus 1987), ia dipercaya YPL sebagai Wakil Kepala Sekolah sejak tahun ajaran 2015/2016.
Sejak lulus dari Pendidikan Bahasa Inggris UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga  tahun 2011,  ia bergabung dengan Pangudi Luhur sebagai guru Bahasa Inggris di SMA Van Lith. Dua tahun kemudian sudah diangkat sebagai GTY (Guru Tetap Yayasan). Bersamaan dengan  itu, Mr  Anton, begitu panggilan akrabnya, diangkat sebagai Komdis (Komisi Disiplin)  selama 1 tahun ajaran. Setelah itu ia dipercaya menjadi Pembina OSIS tahun ajaran 2104-2015. Setahun kemudian, per Juli 2015, ia diminta menjadi Waka Kesiswaan. Semua jabatan itu dijalaninya dengan penuh tanggung jawab.
Anak ke-2 dari 3 bersaudara ini amat bersyukur memiliki orang tua yang senantiasa memberi teladan baik dalam pelayanan kepada orang lain. Orang tuanya adalah pendidik, aktifis gereja maupun masyarakat. Oleh karena itu bapak dan ibunya sangat mendukung anak-anaknya untuk berperan aktif di masyarakat.  
Ketika terpilih menjadi Ketua Karang Taruna di desanya, Mr Anton menjalaninya dengan enjoy dan ikhlas. Saat yang bersamaan Dewan Paroki setempat memilihnya sebagai Ketua OMK (Organisasi Muda Katolik). Lengkap sudah kesibukannya, sebab harus bisa seefektif mungkin  me-manage waktu, tenaga dan prioritas mengingat kala itu ia juga masih kuliah. Dari pengalaman berorganisasi inilah Mr Anton bisa belajar  tentang tanggung jawab dan mengembangkan jiwa pelayanannya.
            Saat ini ia tinggal di daerah Mertoyudan bersama istrinya, Rika Agustina  SPd (28 th) dan anaknya Ashelyn (4 th). Mr Anton mewarnai kegiatan di sana khususnya dalam ibadat lingkungan. Meskipun mayoritas penduduknya para janda dan sesepuh, namun justru ia merasa senang bisa menimba wawasan dari para tetua.
Pak guru muda ini memiliki hobi memelihara binatang, khususnya unggas. Kesenangannya ini mengundang beberapa orang menawar hewan-hewan piaraannya. Namanya juga hobi, maka fungsinya lebih sebagai hiburan pengisi waktu luang dan merelaksasi kepenatan setelah berkutat dengan tumpukan pekerjaan di sekolah.
“Maka penting me-manage kepentingan,” ujar Mr. Anton mengakhiri perbincangan dengan Bianglala.  (nik)
 
Berkat tidak selalu dalam bentuk Uang
           
Menjadi Kepala Sekolah di usia muda. Begitulah yang dialami Gregorius Asih Atin Agung Saputra. Per Juli 2015, ia dipercaya oleh YPL menjadi Kepala Sekolah SD PL “Santo Ignatius” Muntilan.
Bergabung di YPL sejak 12 tahun lalu, pada awalnya Pak Agung, alumnus Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma 2004, ditempatkan di SD PL Bernardus Semarang  yang dijalani selama 7 tahun. Kemudian ia dimutasi ke SD PL Yogya dan berjalan 4 tahun. Setelah itu, di tahun ajaran 2015/2016  ia diminta oleh Yayasan untuk memimpin SD PL “St Ignatius”  Muntilan. Menjadi PR besar dari YPL kala itu, Pak Agung harus mampu menaikkan grade (peringkat) Ujian Nasional SD PL Muntilan yang  sempat turun.
Bapak kelahiran Sleman 3 September 1982 yang dari hasil pernikahannya dengan Fransiska Aggar Cahyanti (guru SMP PL Yogya) dikaruniai 3 anak (Grace kelas 2 SD, Wilbert 3,5 tahun dan Gilbert 2,5 tahun) ini menyadari sepenuhnya bahwa keikhlasan menjadi dasar dalam menyelesaikan semua tanggung jawab pekerjaan. Meskipun awalnya berat, namun keikhlasan hati  itulah yang mendatangkan berkat tanpa disangka. Berkat tidak selalu dalam bentuk uang. Kesehatan, kerukunan dalam keluarga, ketenangan batin serta anak-anak yang mudah diarahkan,  adalah rahmat-rahmat tersembunyi yang perlu disyukuri.
Satu tahun berkiprah di Muntilan, Pak Agung telah mampu mengantarkan salah satu muridnya  menjadi Juara I di ajang Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten Magelang. Ini adalah anugerah terindah saat kondisi prestasi sekolah menurun, lalu semua pihak gumregah untuk memperjuangkan prestasi kembali. Ibarat buah, belum semua buah bisa dipetik dalam waktu yang bersamaan.
 Tetap semangat dan ikhlas ya Pak Agung. (Nik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar